Friday, January 26, 2018

Ta'o Likhe Gawöni

Foto ini mengingatkan saya pada peribahasa Nias:

Aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso
(Beban berat terasa ringan bila diangkat bersama-sama)
Ta'o likhe gawöni, ta'olae guli nasi
(Kita bisa mengangkat pohon besar (sangat besar) terasa seberat sebatang lidi, kita bisa menyeberangi lautan dengan mudah karena terasa hanya selebar (seluas) daun pisang)
Na so wahasara dödö
(Semua itu bisa dilakukan bila ada persatuan dan kebersamaan)

Foto: Orang banyak sedang mengangkat sebatang pohon kayu besar, diambil dari halaman Facebook, tidak diketahui siapa pemilik dan yang posting pertamakali gambar ini. Mengangkat pohon besar ini terjadi di Pulau Nias.
Peribahasa di atas mengandung makna filosofi kehidupan bermasyarakat, persaudaraan, kebersamaan, persatuan, gotong royong dan kekuatan. Lihat foto di atas, batang kayu ini bila diangkat oleh dua atau tiga orang, mustahil bisa terangkat dan dipindahkan. Tetapi karena kebersamaan, beban berat sekalipun bisa diangkat bersama, dipindahkan untuk dibuat menjadi sesuatu yang berguna.

Beginilah potret gotong royong di Pulau Nias, cerminan jaman dahulu pada saat membangun rumah dan tempat ibadah, dimana saat itu belum ada teknologi yaitu alat berat atau mesin yang bisa menggantikan tenaga manusia. Maka untuk menebang dan memindahkan batang kayu untuk dijadikan bahan bangunan rumah, dilakukan secara manual dengan tenaga manusia. Gotong royong itu sangat penting.

Dulu, termasuk rumah adat Nias, tempat ibadah atau gereja, dibangun dari bahan kayu. Mungkin sebelum negara kita merdeka, belum mengenal rumah yang dibangun dari beton, jadi semua berbahan dasar kayu. Peninggalan rumah dan gereja jaman dahulu masih bisa kita lihat sampai sekarang, mereka membangun rumah dengan sangat rapi, berbahan dasar kayu penuh ukiran, khususnya rumah adat Nias dibangun tidak menggunakan paku besi.

Jadi makna yang bisa diambil dari gambar ini adalah mari kita tetap menjaga persaudaraan, persahabatan, gotong royong, agar hidup menjadi terasa lebih mudah. Lakhömi sebua wahasara dödö, peribahasa ini berbicara tentang kekuatan, kejayaan, kehormatan dan disegani oleh orang lain bila ada persatuan.

Ya'ahowu.

Wednesday, January 24, 2018

Membuat Buku Acara Natal

Pada acara Natal 2017 ini, saya terlibat dalam panitia natal di gereja tempat saya beribadah. Salah satu media yang dibutuhkan adalah buku acara natal. Dalam buku acara natal ini terdiri dari halaman cover berisi tema natal, kata sambutan, susunan acara natal, lagu natal, ucapan selamat natal dari jemaat dan juga dari luar jemaat seperti dari korporasi + iklan, halaman notes untuk ditulis terdiri dari 13 halaman dan kalender tahun terbaru.

Ini pengalaman pertama untuk mendesain buku acara natal ini, pada awalnya saya design di ms word, namun kualitasnya tidak begitu bagus, untuk setingan posisi halaman mungkin teratur tetapi kualitas dari objek gambar tidak begitu baik. Akhirnya saya menggunakan software Photoshop untuk mendesian setiap halaman.

Buku acara ini dicetak menggunakan kertas Art Paper berukuran A5, jadi biar kualitas gambarnya lebih baik. Art paper ini bahannya halus dan mengkilap, berbeda dengan bahan kertas HVS yang sedikit kasar. Mirip kertas foto, bisa dicetak bolak balik dan kualitas gambar yang dicetak cukup bagus. Untuk urusan percetakan perlu dibawa ke Percetakan, kertas ini tidak bisa menggunakan printer biasa karena menggunakan tinta khusus. Tempat percetakan terdekat saya bawa ke Percetakan Cemerlang di Kebayoran Lama, tidak jauh Stasiun Kebayoran Lama.

Untuk membuat kalender, templatenya bisa didownload dari web calendarlabs.com, di web ini tersedia berbagai template kalender. Tetapi untuk hari libur nasional perlu diambil dari situs resmi pemerintah dan kemudian diedit manual.

Untuk halaman materi gambar, seperti gambar ornamen natal yang biasanya berupa pohon natal, lonceng, bola natal, salju, dan lain sebagainya, dicari dari Google. Bahan gambar ini banyak sekali tersedia di Internet, tinggal dipilih saja mana yang sesuai selera.

Untuk jilid menggunakan jilid spiral, karena alasan biaya akhirnya kami memutuskan untuk membeli alat jilid spiral, agar tim panitia bisa menjilid sendiri, cara ini bisa sedikit menghemat biaya, tetapi sebenarnya dengan cara ini bisa mengumpulkan kami panitia, ada kebersamaan, walaupun capek dan menyita waktu tetapi ada suka cita kebersamaan dalam mempersiapkan ulang tahun spesial yaitu Natal Yesus Kristus.

Berikut ini saya share beberapa gambar yang dimuat dalam buku acara natal.

Selesai Jilid


Halaman Cover

Lagu Pujian
Lagu Pujian

Lagu Pujian


Kalender 2018

Notes

No So Mesia (Lagu Natal)

No So Mesia
(Lagu Natal Bahasa Nias)

Verse 1
Me oi mörö metalu mbongi
Me oi mondruhö lö nini-nini
Ha haga mbawa ba haga ndröfi
Betilekhema hulö zangifi

Chorus
Ha kubalo zi so ba mbenua
Me möi ba khöra ndra mala'ika
Ba wangombakha turia da'a
No so Mesia...

Verse 2
Da'ö dandrami nami'ila
No lafagaya sa ba luha
Keriso So'aya ya'ia Mesia
No amaedola lili sa'ia khöda

Chorus
Me larugi sindruhu da'ö
Fao fangalulu latuhi danö
Atoto alulu wesu horö
No so Mesia...

Tuesday, January 23, 2018

Ni’owuru (Bagian ke-2)

Meneruskan tulisan saya sebelumnya mengenai Ni'owuru di tautan http://onekhe.blogspot.co.id/2012/02/niowuru.html yang sudah terposting beberapa tahun yang lalu. Banyak warisan budaya dari daerah Nias yang tidak banyak dikenal oleh banyak orang bahkan mungkin orang Nias asli yang lahir di luar pulau Nias. Ni'owuru ini salah satu makanan khas di pulau Nias dan susah didapatkan di daerah lain. Ni'owuru yang rasanya asin, asin pahit karena kadar garamnya yang sangat tinggi, namun rasa nikmat dan khasiat dari makanan ini tetap terasa dan tak terlupakan. Bagi orang Nias yang sudah lama di perantauan pasti merindukan makanan yang satu ini.

Sebuah tulisan yang berjudul "Ni Oworu, Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2016" di tautan https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/2016/11/04/ni-oworu-warisan-budaya-takbenda-indonesia-2016/, memberikan sebuah keterangan bahwa Ni'owuru sudah mulai punah, entah informasi ini diperoleh dari mana tetapi saya percaya tulisan ini tentu ada sumber referensinya. Bisa jadi Ni'owuru ini sudah mulai langka di pulau Nias karena berkembangnya teknologi seperti saat ini sudah ada mesin kulkas (freezer) yang digunakan untuk mengawetkan bahan makanan.

Kalau dilihat dari asal usulnya, ni'owuru ini salah satu cara mengawetkan makanan khususnya daging babi dengan garam lalu kemudian disimpan dalam wadah tertutup, cara ini dilakukan pada zaman dahulu dikala itu belum ada mesin kulkas bahkan listrik pun juga belum masuk di Nias.

Jadi bisa saja cara mengawetkan daging menggunakan garam ini akan semakin langka dan susah didapatkan lagi di Pulau Nias. Karnea dari sisi kesehatan mengkosumsi garam berlebihan bisa menyebabkan berbagai penyakit bagi tubuh. Rasa daging yang diawetkan dengan garam tentu tidak seperti rasa aslinya, namun dengan menggunakan freezer rasanya aslinya tetap awet. Inilah yang menyebabkan daging ni'owuru ini bisa jadi akan semakin langka. Mungkin saja nanti beberapa tahun lagi, ni'owuru ini hanya tinggal nama saja.

Perlu ada tindakan untuk melestarikan budaya yang satu ini agar tetap eksis dan tidak tinggal nama. Mungkin perlu dibuat menjadi oleh-oleh khas Nias, dibuat dalam kemasan khusus, dijual di warung daging ataupun di pusat oleh-oleh khas Nias.

Mungkin pernah mendengar "Ikan Roa" dari Manado, ikan ini merupakan ikan khas dari Manado. Rasanya enak dan gurih, akan lebih nikmat bila dijadikan sambel roa. Ikan roa inipun menjadi oleh-oleh khas Manado bahkan bisa dipesan secara online. Sebenarnya ikan ini bisa didapatkan hampir di semua perairan Indonesia termasuk di pulau Nias, orang Nias menyebut ikan ini ikan "toda". Tetapi mengapa ikan roa ini sangat khas, karena mereka kemas menjadi oleh-oleh khas. Tidak salah bila masyarakat Nias belajar bagaimana mengemas dan dapat menjual Ni'owuru menjadi khas seperti Ikan Roa dari Manado.

Semoga pengrajin dan kuliner di pulau Nias dapat mengemas Ni'owuru ini menjadi sesuatu yang bernilai dan dicari di pulau Nias, menjadi komoditas yang bisa dijual untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Berharap dengan brand dan rasa khasnya, menjadi oleh-oleh wajib masyarakat Nias yang pulang kampung dan bahkan wisatawan yang datang ke Nias juga menjadi penasaran dan mencoba oleh-oleh ni'owuru ini, semoga saja...

Ya'ahowu.

Takut Karena Tidak Tau

Banyak orang yang merasa takut dalam kondisi dan tempat tertentu bukan karena ditakuti oleh pihak lain, misalnya dikejar anjing, dikejar sama orang gila, atau dihantui oleh roh dunia, namun rasa takut muncul karena "tidak tau".

Saat di sekolah dulu, bila tugas dari guru belum selesai karena memang tidak tau mau jawab apa, ada rasa takut dan cemas datang ke sekolah, karena ketidak tahuan mau jawab apa sehingga tugas belum selesai, lepas dari segala usaha yang mungkin bisa dilakukan untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sebelum mengikut ujian kenaikan kelas dan bahkan ujian kelulusan nasional, ada rasa takut karena takut tidak lulus karena tidak mampu menjawab soal-soal ujian karena "tidak tau". Ketika dipanggil oleh perusahaan untuk mengikuti interview lamaran kerja, ada rasa cemas dan takut nanti tidak diterima karena "tidak tau" apa harus dijawab saat interview. Di saat mengajar, ini khusus bagi yang berprofesi sebagai pengajar atau guru atau dosen, di saat masuk ke kelas ada rasa takut nantinya tidak bisa mengajarkan materi karena tidak tau banyak tentang bahan materi yang diajarkan. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Jadi, rasa takut itu disumbangkan oleh ketidak tahuan sesuatu hal. Agar tidak takut maka ketahuilah apa seharusnya diketahui... begitu (ini sedikit mirip kata-kata seseorang motivator kondang yang kisi sudah on air lagi).

Monday, January 22, 2018

Bawi dipelihara hampir setiap rumah

"Bawi" atau babi dalam bahasa Indonesia, begitulah Orang Nias menyebut binatang berkaki empat yang merupakan binatang peliharaan berharga paling mahal dan sangat dibutuhkan di Pulau Nias. Setiap keluarga beternak babi umumnya masyarakat yang tinggal di pedesaan atau pesisir. Aneh rasanya bila sebuah keluarga tidak beternak babi, mungkin inilah yang dirasa unik di pulau Nias.

Bawi atau babi, salah satu jenis binatang omnivora yang memakan segalanya, termasuk binatang yang mudah dipelihara karena hampir memakan pakan apa saja, bahkan bila dibiarkan di daerah terbuka binatang ini bisa mencari makan sendiri, seperti babi hutan. Di Nias, masyarakat yang memelihara bawi memberikan pakan babi dari batang atau daun ubi jalar, kelapa, ubi-ubian dan dedak padi, namun beberapa tahun terakhir ini banyak yang mulai menggunakan pakan instan yang bisa dibeli di toko atau warung. Dulu masyarakat menggunakan "lomo", sebagai wadah untuk menampung sisa makanan yang sudah membusuk dan dicampur dengan air, sehingga berbau busuk, dan airnya yang akan dijadikan sebagai cairan campuran makanan babi. Bisa dibayangkan baunya bagaimana, makanya yang suka memberi makan babi, tangannya berbau busuk, khas bau lomo, dan susah hilang dalam beberapa hari, jadi kalau ada di tempat umum, bisa saja bau lomo ini tercium.

Ok, kembali lagi ke bawi, mengapa babi itu dipelihara hampir semua rumah tangga di Nias? Karena babi ini adalah komoditas paling dibutuhkan khususnya dalam acara adat. Dalam acara adat, acara syukuran keluarga, acara rohani, menjamu tamu, atau apapun acara perkumpulan di Nias, babi menjadi barang yang harus ada dan menjadi konsumsi paling mewah dan berharga. Bisa dibilang bawi ini adalah makanan paling mewah di pulau Nias, tanpa makan bawi rasanya ada yang kurang dan sudah melekat pada kebiasaan adat di Nias. Jadi itulah mengapa setiap keluarga berusaha untuk memelihara babi, biar pada saat keluarga ini butuh babi maka tinggal ambil babi peliharaan sendiri dan tidak repot untuk mencari di tempat lain, selain juga harga babi di Nias cukup mahal juga.

Ya'ahowu.
HCZ

Saturday, January 20, 2018

Mado

Mado atau marga atau family name, dimiliki oleh setiap orang yang berasal dari Suku Nias. Mado akan dipakai sebagai pelengkap nama setiap keturunan orang Nias. Seperti suku lain yang juga memiliki marga, Nias merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki marga dan digunakan dalam setiap nama karena memiliki makna yang sangat kuat, yang menandakan sebagai garis keturunan dari suatu marga atau keluarga besar. Setiap anak yang baru lahir diberikan nama dan marga mengikuti marga dari ayahnya, karena di Nias mengikuti garis keturuan ayah atau Patrilineal.

Mado pada awalnya berasal dari nama Kakek moyang atau leluhur yang kemudian nama tersebut digunakan oleh keturunan berikutnya dalam namanya. Mado bukan pemberian, tetapi karena sudah takdir lahir dalam sebuah keluarga mado tertentu, bukan pilihan dan tidak dapat ditukar. Mado merupakah sebuah kebanggaan, karena beberapa mado di pulau Nias memiliki cerita kebanggaan leluhur di masa lalu. Dulu masyarakat Nias memiliki kasta mulai dari yang terendah sampai tertinggi dilihat dari harta, posisi dalam sebuah lingkungan sosial seperti menjadi seorang ketua adat, tokoh adat, kepala desa, tuhenori, dan posisi sosial lainnya. Dulunya, masyarant Nias yang memiliki harta yang banyak, sangat dihormati dan berada pada posisi tertinggi dalam lingkungan masyarakat, dipandang dan dihormati, sebab yang memiliki harta banyak mampu melakukan pesta adat atau Gowasa. Gowasa ini dilakukan untuk meningkatkan derajat atau kasta sosialnya, dengan melakukan pesta, mengundang masyarakat banyak. Dalam pesta di Nias, babi merupakan alat atau sarana dan konsumsi paling mewah saat acara pesta, tidak ada makanan lain atau tidak ada yang dibawa pulang yang lebih istimewa dan terhormat selain daging babi. Semakin banyak jumlah babi yang dikorbankan dalam acara pesta, maka semakin tinggilah nilai pesta tersebut yang serta merta akan meninggikan posisi atau kasta si pemilik pesta (Solau Gowasa). Setelah pesta, dia akan dinobatkan atau diangkat dan ditempatkan pada level tertinggi dan terpandang sampai nanti anak dan cucunya.

Kembali ke Mado, ada hubungan kekeluargaan dan kebanggaan tersendiri, dimana dan siapapun itu, asal sesama marga. Misalnya ada seorang pejabat, katakanlah marga Laoli menjadi seorang Menteri, maka secara alamiah khususnya yang bermarga Laoli akan sangat bangga dan membagga-banggakan sosok pejabat tersebut.

Mado apakah bisa diberikan atau dihadiahkan? Beberapa masyarakat bukan asli Nias, tetapi sudah lama tinggal di Nias, memiliki mado karena pemberian. Ini bisa dilakukan oleh keluarga besar atau mado tertentu di Nias, karena sudah dianggap saudara, memiliki hubungan baik sehingga sebagai tanda persaudaraan diberilah mado. Beberapa yang saya ketahui seperti di Kota Gunungsitoli, orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di pulau Nias, mereka memiliki mado seperti Harefa, Zebua dan sebagainya. Ini merupakah sebuah pemberian dan kehormatan kepada seseorang yang diberikan mado.

Beberapa mado di Nias, memperbolehkan perkawinan sesama mado, karena bila dilihat dari garis keturunan sudah cukup jauh. Namun ada juga mado yang tidak memperbolehkan kawin sesama mado, bahkan ada fondrako (perjanjian leluhur yang tidak boleh dilanggar) dan sampai kepada keturunan tetap menyakini fondrako tersebut. Bila ada yang mencoba melanggar maka itu dianggap tabu dan memalukan, dan bahkan diyakini akan menerima kutukan.

Mado... he mado...? Ya'ahowu mado... (di dalamnya ada makna, hei..kamu adalah saudaraku, begitulah kira-kira). Begitulah sapaan keakraban kepada seseorang yang baru kita kenal tetapi sesama mado.

Ya'ahowu!
HCZ